Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 6) - Media Tabaca
BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

header-ad

Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 6)

Foto  : Acara Nyongkolan warga Lombok Di desa Kadindi Kecamatan Pekat Dompu. (Fahru Rizki)

Sebelumnya :
Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 1)


Sejarahwan Helius Syamsuddin dalam artikelnya " Letusan Tambora Dampak Lokal Dan Global " menyebut setelah letusan dahsyat Tambora, wilayah itu menjadi The Blessing In Disquess atau rahmat Tuhan Yang Tersembunyi bagi kerajaan di sekitarnya. Pemerintah Hindia Belanda membagi wilayah kerajaan pekat dan Tambora yang tidak lagi berpenghuni. Wilayah Pekat di sebelah selatan dan sebagian barat diberikan kepada kerajaan Dompu. Wilayah Tambora sebagian di sebelah barat dan utara diserahkan kepada kerajaan Sanggar.

Penulsi : Alan Malingi
Tambora dan Pekat meniti peradaban baru. Wilayah dua kerajaan itu telah dimiliki kerajaan tetangganya, Dompu dan Sanggar. Hendric Zolinger melakukan pendakian Tambora pada tahun 1854. Dia adalah pendaki pertama setelah 39 tahun Tambora meletus dahsyat. Pada perkembangan selanjutnya, kondisi politik sosial dan budaya di kawasan Sumbawa Timur berubah . Pada tahun 1926 kerajaan Sanggar bergabung dengan kerajaan Bima. Wilayah Manggarai pun lepas dari pangkuan Bima setelah lebuh dari 4 Abad Manggarai menjadi bagian dari wilayah Bima.

Bergabungnya kerajaan Sanggar dengan Bima membawa dampak bagi meluasnya wilayah kerajaan Bima ke sebelah barat yang melewati kerajaan Dompu. Seluruh wilayah kerajaan Sanggar menjadi bagian dari wilayah kerajaan Bima, termasuk Tambora. Pada tahun 1934, Dompu pun digabungkan dengan Bima. Sultan Sirajuddin ( Manuru Kupa) dibuang ke Kupang. Dompu dijadikan dua kejenilian yaitu Kejenelian Dompu dan Kempo. Dengan adanya penggabungan ini secara otomatis seluruh wilayah Dompu dan Sanggar masuk dalam wilayah Kerajaan Bima. Pada tahun 1947, Dompu meminta otonomi dari kesultanan Bima. Permintaan itu dikabulkan. Cucu Manuru Kupa yaitu Sultan Tadjul Arifin Sirajuddin dilantik sebagai sultan Dompu dan menjadi Bupati Dompu pertama pada tanggal 12 September 1947.

Pelantikan Sultan Muhammad Tadjul Arifin Sirajuddin dilakukan oleh Imam Kesultanan Dompu dengan mengangkat sumpah di atas kitab suci Alquran. Pelantikan pada hari Jumat pagi dihadiri Sri Paduka Tuan Besar Residen Timur dan daerah taklukannya, asisten residen Sumbawa ( Van Der Zijl), Sultan Muhammad Salahuddin Bima, pejabat kesultanan Dompu dan Bima, perwakilan dari kesultanan Sumbawa. Jumlah undangan yang hadir diperkirakan sebanyak 1000 orang.( Kahrul Zaman, Riwayat Kesultanan Dompu. 1934-1947).

Pada masa penggabungan Dompu ke Bima, terjadi migrasi besar-besaran orang Bima ke wilayah Dompu termasuk ke kawasan Pekat dan Tambora. Migrasi itu dilakukan untuk menggarap lahan-lahan kosong yang ada di Dompu, Pekat, Tambora dan sekitarnya. Orang-Orang Bima yang bermigrasi ke Dompu memberikan nama kampug baru mereka di Dompu dengan nama kampung asalnya seperti Rasanae, Monta, Wawo, Renda, Simpasasi, Wawonduru, O’o, kampo Raba dan lain-lain.

Program transmigrasi yang digulirkan Pemerintah mengisi peradaban baru tanah Tambora dan Pekat. Tambora berangsur-angsur dihuni oleh orang-orang baru dari Bima, Dompu, Sumbawa, Sulawesi, Bali, Lombok, Jawa, Manggarai dan berbagai etnis lainnya. Tambora menjadi heterogen dengan berbagai arus manusia, bahasa, agama, dan budaya yang berpadu dalam keindahan tanah ini. Letusan daysyat itu pun telah menciptakan surga dunia dalam bidang pariwsata. Tambora masuk dalam wilayah Dompu dan Bima. Sebagian barat dan sisi utara masuk dalam wilayah kecamatan Tambora Kabupaten Bima. Sisi selatan dan sebagian barat masuk dalam wilayah kecamatan Pekat Dompu.

Ada tiga etnis yang dominan di Tambora, baik yang berada di wilayah kecamatan Tambora Bima maupun Pekat Dompu. Tiga etnis itu adalah Mbojo, Bali dan Sasak. Etnis Mbojo memang sudah lama mendiami Tambora karena kegiatan bertani dan berladang. Namun menurut Bapak H. Abdul Munir di desa Calabai, migrasi orang Bima paling banyak adalah pada periode akkhir penjajahan Belanda, Jepang hingga era tahun 70an. Orang-orang Bima kebanyakan bertani dan berladan serta nelayan dan tukang. Ada juga yang menjadi guru dan TNI Polri yang mengabdi dan menetap di Tambora. “ Ada juga yang kesini sebagai tempat pelarian karena tidak mampu bayar pajak, patah hati dengan pacar, DPO Polisi, pokoknya mereka meninggalkan masalah di kampung dan memulai kehidupan baru di sini. “ Tutur H. Abdul Munir, mantan KCD Dikbud Pekat dan Kepala Sekolah di beberapa SDN di wilayah Pekat.

Pada era tahun 1953 hingga 1965, pasukan gerilya dari kelompok Kahar Muzakar di Sulwesi Selatan pun hijrah ke Tambora. Mereka awalnya berlabuh di Pekat. Ketika hendak menuju Pulau Moyo, suasana sudah gelap dan akhirnya mereka berlabuh di Calabai. Nama Calabai pun diberi nama oleh anggota gerilya Kahar muzakar ini. Calabai dalam bahasa Bugis berarti banci atau waria. “ Karena mereka tanggung untuk ke pulau Moyo, mereka menetap di Calabai yang berarti di antara dua keinginan yaitu kembali ke pekat dan ke pulau Moyo. “ Kisah H. Abdul Munir.

Arus transmigran dari Bali dan Lombok mulai berdatangan pada era tahun 80 an. Mereka menghuni desa-desa di wilayah Kempo dan Pekat Dompu dan di kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima. Para transmigran ini semakin lama semakin banyak. Kehadiran warga Lombok dengan bahasa dan budayanya, semakin menambah kemajemukan Tambora, demikian pula warga Bali dengan agama, bahasa dan budayanya. Mereka berbaur menghirup udara Tambora, dan mencicipi hasil alam tanah ini.

Kemajemukan Tambora harus terus dipupuk dan dipelihara dalam bingkai kebersamaan, saling asah, asih dan asuh. Keberagaman adalah sebuah rahmat. Dalam kerangka itu, sikap tenggang rasa, saling menghormati perbedaan, mengharagai satu sama lain mutlak diperlukan untuk menjaga heterogenitas Tambora. Jika hal itu tidak dapat dijaga, maka akan menjadi “ bom waktu “ yang sewaktu waktu akan meledak dan menjadi bencana. Menurut saya, ada dua hal yang akan menjadi bibit bencana besar di Tambora yaitu konflik etnis dan dampak buruk dari perladangan liar. Jika dua hal itu tidak dapa dijaga, maka bencana akan datang dan lebih dahyat daripada letusan Tambora 1815.

( Bersambung )
« PREV
NEXT »

Tidak ada komentar