Foto : Acara Nyongkolan warga Lombok Di desa Kadindi Kecamatan Pekat Dompu. (Fahru Rizki) |
Sebelumnya :
Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 3)
Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 4)
Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 5)
Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 4)
Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 5)
Sejarahwan Helius Syamsuddin dalam artikelnya " Letusan
Tambora Dampak Lokal Dan Global " menyebut setelah letusan dahsyat
Tambora, wilayah itu menjadi The Blessing In Disquess atau rahmat Tuhan Yang
Tersembunyi bagi kerajaan di sekitarnya. Pemerintah Hindia Belanda membagi
wilayah kerajaan pekat dan Tambora yang tidak lagi berpenghuni. Wilayah Pekat
di sebelah selatan dan sebagian barat diberikan kepada kerajaan Dompu. Wilayah
Tambora sebagian di sebelah barat dan utara diserahkan kepada kerajaan Sanggar.
Penulsi : Alan Malingi |
Tambora dan Pekat meniti peradaban baru. Wilayah dua kerajaan
itu telah dimiliki kerajaan tetangganya, Dompu dan Sanggar. Hendric Zolinger
melakukan pendakian Tambora pada tahun 1854. Dia adalah pendaki pertama setelah
39 tahun Tambora meletus dahsyat. Pada perkembangan selanjutnya, kondisi
politik sosial dan budaya di kawasan Sumbawa Timur berubah . Pada tahun 1926
kerajaan Sanggar bergabung dengan kerajaan Bima. Wilayah Manggarai pun lepas
dari pangkuan Bima setelah lebuh dari 4 Abad Manggarai menjadi bagian dari
wilayah Bima.
Bergabungnya kerajaan Sanggar dengan Bima membawa dampak bagi
meluasnya wilayah kerajaan Bima ke sebelah barat yang melewati kerajaan Dompu.
Seluruh wilayah kerajaan Sanggar menjadi bagian dari wilayah kerajaan Bima,
termasuk Tambora. Pada tahun 1934, Dompu pun digabungkan dengan Bima. Sultan
Sirajuddin ( Manuru Kupa) dibuang ke Kupang. Dompu dijadikan dua kejenilian
yaitu Kejenelian Dompu dan Kempo. Dengan adanya penggabungan ini secara
otomatis seluruh wilayah Dompu dan Sanggar masuk dalam wilayah Kerajaan Bima.
Pada tahun 1947, Dompu meminta otonomi dari kesultanan Bima. Permintaan itu
dikabulkan. Cucu Manuru Kupa yaitu Sultan Tadjul Arifin Sirajuddin dilantik
sebagai sultan Dompu dan menjadi Bupati Dompu pertama pada tanggal 12 September
1947.
Pelantikan Sultan Muhammad Tadjul Arifin Sirajuddin dilakukan
oleh Imam Kesultanan Dompu dengan mengangkat sumpah di atas kitab suci Alquran.
Pelantikan pada hari Jumat pagi dihadiri Sri Paduka Tuan Besar Residen Timur
dan daerah taklukannya, asisten residen Sumbawa ( Van Der Zijl), Sultan
Muhammad Salahuddin Bima, pejabat kesultanan Dompu dan Bima, perwakilan dari
kesultanan Sumbawa. Jumlah undangan yang hadir diperkirakan sebanyak 1000
orang.( Kahrul Zaman, Riwayat Kesultanan Dompu. 1934-1947).
Pada masa penggabungan Dompu ke Bima, terjadi migrasi
besar-besaran orang Bima ke wilayah Dompu termasuk ke kawasan Pekat dan
Tambora. Migrasi itu dilakukan untuk menggarap lahan-lahan kosong yang ada di
Dompu, Pekat, Tambora dan sekitarnya. Orang-Orang Bima yang bermigrasi ke Dompu
memberikan nama kampug baru mereka di Dompu dengan nama kampung asalnya seperti
Rasanae, Monta, Wawo, Renda, Simpasasi, Wawonduru, O’o, kampo Raba dan
lain-lain.
Program transmigrasi yang digulirkan Pemerintah mengisi
peradaban baru tanah Tambora dan Pekat. Tambora berangsur-angsur dihuni oleh
orang-orang baru dari Bima, Dompu, Sumbawa, Sulawesi, Bali, Lombok, Jawa,
Manggarai dan berbagai etnis lainnya. Tambora menjadi heterogen dengan berbagai
arus manusia, bahasa, agama, dan budaya yang berpadu dalam keindahan tanah ini.
Letusan daysyat itu pun telah menciptakan surga dunia dalam bidang pariwsata.
Tambora masuk dalam wilayah Dompu dan Bima. Sebagian barat dan sisi utara masuk
dalam wilayah kecamatan Tambora Kabupaten Bima. Sisi selatan dan sebagian barat
masuk dalam wilayah kecamatan Pekat Dompu.
Ada tiga etnis yang dominan di Tambora, baik yang berada di
wilayah kecamatan Tambora Bima maupun Pekat Dompu. Tiga etnis itu adalah Mbojo,
Bali dan Sasak. Etnis Mbojo memang sudah lama mendiami Tambora karena kegiatan
bertani dan berladang. Namun menurut Bapak H. Abdul Munir di desa Calabai,
migrasi orang Bima paling banyak adalah pada periode akkhir penjajahan Belanda,
Jepang hingga era tahun 70an. Orang-orang Bima kebanyakan bertani dan berladan
serta nelayan dan tukang. Ada juga yang menjadi guru dan TNI Polri yang
mengabdi dan menetap di Tambora. “ Ada juga yang kesini sebagai tempat pelarian
karena tidak mampu bayar pajak, patah hati dengan pacar, DPO Polisi, pokoknya
mereka meninggalkan masalah di kampung dan memulai kehidupan baru di sini. “
Tutur H. Abdul Munir, mantan KCD Dikbud Pekat dan Kepala Sekolah di beberapa
SDN di wilayah Pekat.
Pada era tahun 1953 hingga 1965, pasukan gerilya dari
kelompok Kahar Muzakar di Sulwesi Selatan pun hijrah ke Tambora. Mereka awalnya
berlabuh di Pekat. Ketika hendak menuju Pulau Moyo, suasana sudah gelap dan
akhirnya mereka berlabuh di Calabai. Nama Calabai pun diberi nama oleh anggota
gerilya Kahar muzakar ini. Calabai dalam bahasa Bugis berarti banci atau waria.
“ Karena mereka tanggung untuk ke pulau Moyo, mereka menetap di Calabai yang
berarti di antara dua keinginan yaitu kembali ke pekat dan ke pulau Moyo. “
Kisah H. Abdul Munir.
Arus transmigran dari Bali dan Lombok mulai berdatangan pada
era tahun 80 an. Mereka menghuni desa-desa di wilayah Kempo dan Pekat Dompu dan
di kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima. Para transmigran ini semakin
lama semakin banyak. Kehadiran warga Lombok dengan bahasa dan budayanya,
semakin menambah kemajemukan Tambora, demikian pula warga Bali dengan agama,
bahasa dan budayanya. Mereka berbaur menghirup udara Tambora, dan mencicipi
hasil alam tanah ini.
Kemajemukan Tambora harus terus dipupuk dan dipelihara dalam
bingkai kebersamaan, saling asah, asih dan asuh. Keberagaman adalah sebuah
rahmat. Dalam kerangka itu, sikap tenggang rasa, saling menghormati perbedaan,
mengharagai satu sama lain mutlak diperlukan untuk menjaga heterogenitas
Tambora. Jika hal itu tidak dapat dijaga, maka akan menjadi “ bom waktu “ yang
sewaktu waktu akan meledak dan menjadi bencana. Menurut saya, ada dua hal yang
akan menjadi bibit bencana besar di Tambora yaitu konflik etnis dan dampak
buruk dari perladangan liar. Jika dua hal itu tidak dapa dijaga, maka bencana
akan datang dan lebih dahyat daripada letusan Tambora 1815.
( Bersambung )
Tidak ada komentar
Posting Komentar