Foto Gunung Tambora (Viva.co.id) |
Selain menggambarkan letusan Gunung Tambora, syair ini juga memberi pesan kepada generasi berikutnya agar tidak tergoda akan harta, berhati-hati dalam bertindak, banyak melakukan ibadah dan selalu berdoa untuk memohon berkah dan ampunan dari Allah SWT.
Sebelumnya :
Penulis Alan Malingi |
..........Kerajaan Sanggar yang terletak sekitar 35 KM arah tenggara dari
sumber letusan adalah yang paling dekat saat itu. Perwira Angkatan Laut Inggris Letnan Owen
Philips mencatat kesaksian Raja Sanggar ketika letusan tanggal 10 April itu
terjadi. Owen Philips membawa misi kemanusiaan memberikan tanggap darurat ke
Tambora dan sekitarnya. Namun setelah tiba di Tambora dia tidak lagi menemukan
manusia. Akhirnya Owen Philips bertemu dengan Raja Sanggar.
Berikut kutipan penuturan Raja Sanggar :
“ Tiga kolom api keluar dari dalam gunung, tubuh api
cair,keluar mengalir ke segala arah. Lalu antara pukul sembilan dan sepuluh abu
mulai turun, dan segera setelah itu angin puyuh keras, meniup dan merobohkan
hampir setiap rumah di Sanggar, puncak atau atap rumah melayang disertai kilat
cahaya. “
Raja Sanggar juga menceritakan situasi laut dan pantai di
perairan laut Flores kala itu.
“ Air laut naik hampir dua belas kaki lebih tinggi daripada
yang diketahui sebelumnya, dan benar-benar menyapu lahan padi di Sanggar, rumah
dan segala sesuatu dalam jangkauan-nya. “
Dari sumber Wikipedia,
Letusan gunung Tambora terdengar
hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Abu vulkanik jatuh di Kalimantan,
Sulawesi, Jawa dan Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak
kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara
langsung akibat dari letusan tersebut. Bahkan beberapa peneliti memperkirakan
sampai 92.000 orang terbunuh, tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan
atas perkiraan yang terlalu tinggi. Lebih dari itu, letusan gunung ini
menyebabkan perubahan iklim dunia.
Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai Tahun
tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa
karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim
yang drastis ini banyak panen yang gagal dan kematian ternak di Belahan Utara
yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19.
Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api. Batuan
apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti
dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun
menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan
besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat
dan Sulawesi Selatan Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar
yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal 11 dan 17
April 1815.
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang,
bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak
lintas melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di
dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815 Awan dengan abu tebal masih
menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15
Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa
susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah
letusan.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia
pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul
10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur
sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian
lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi
terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan
sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.[ Angin bujur menyebarkan partikel
tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam
yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan
2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja
muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda
di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber
yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran
piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan
10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok Petroeschevsky
(1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan
Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers
(1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Tanguy (1998)
mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi
yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua
sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa
setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak
korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan
11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh
penyakit epidemi dan kelaparan setelah erupsi. Oppenheimer (2003) menyatakan
jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
Sumber :
1. Thomas Stamford Raffles, The History Of Java
2. Tim Arkeologi, Tambora Menyapa Dunia 2015
3. Story Foto Tim Arkeologi di ruangan Sultan Abdul Hamid
Museum Asi Mbojo
4. Wikipedia
(Bersambung)
Tidak ada komentar
Posting Komentar