Foto : So Tengke Boro Sanggar, Model Ari Ary Ipan LaLangi dkk.Foto
diambil saat Kemah budaya dan Pendokumentasian Kesenian Sanggar oleh Makembo. |
Pagi itu tanggal 12, aku terbangun, malam terasa sangat panjang, jam tanganku menunjuk pukul 08.30, di luar kulihat kabut abu turun. Sampai jam 09.00 belum ada cahaya matahari. Selapis abu tebal menumpuk di teras Kadipaten pada pukul 10.00. Seberkas cahaya samar samar mulai terlihat pada pukul 10.30. Jarak pandang hanya 50 yard. Sarapan pagi kami pada pukul 11.00 di terangi lilin
Sebelumnya : Mengenang Bencana April 1815 (Bagian 1)
Penulis : Alan Malingi |
............Catatan Thomas Stamford Raffles merupakan catatan penting bagi sejarah.
Dia merangkum laporan peristiwa tentang
letusan Tambora pada bulan september 1815, yaitu 5 bulan setelah peristiwa itu
terjadi. Tetapi kita BO Kesultanan Bima justru merekam peristiwa itu lebih
awal. BO merekam secara rinci tanggal, bulan, jam dan hari kejadian itu. BO
memberikan judul peristiwa itu dengan “ Alamat Pecah Gunung Tambora” .
Berikut saya kutip rekaman BO sebagaimana tertulis dalam buku Kerajaan
Bima Dalam Sastra Dan Sejarah, Henry Chambert- Loir dan Bo Sangaji Kai, Henry
Chambert-Loir & Siti Maryam R
Salahuddin hal 316).
"Hijratun Nabi salla'llahi 'alaihiwassalama seribu dua ratus tiga
puluh genap tahun, tahun Za pada hari selasa waktu subuh sehari bulan
jummadilawal, tatkala itulah tanah bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat
iradat atas hamba-Nya.Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu,
kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang,kemudian maka
turunlah kersik batu dan abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam.
Maka heranlah sekalian hamba-Nya akan melihat karunia Rabbi al-alamin
yang melakukan fa al li mai yurid. Setelah itu maka teranglah hari, maka
melihat rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, yaitu
pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja
Tambora bernama Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad. "
Begitu indah catatan kuno dan usang itu menggambarkan dan memberikan
kabar kepada sejarah dan ummat manusia tentang letusan dahsyat Tambora. Naskah
BO selalu diawali dengan kata hijratun Nabi dan seterusnya. Tahun 1230 genap tahun
Za di atas adalah tahun hijriah, karena Kesultanan Bima menggunakan Tarikh Hijriah. Setelah
dikonversi ke dalam tahun masehi maka ketemulah angka 11 April 1815. Angka
tahun dan uraian dalam BO Sangaji Kai ternyata sama dengan berbagai catatan
dunia tentang letusan Tambora, salah satunya adalah History Of Java oleh Thomas
Stanford Rafless. Letusan Tambora
terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke 9 tahun 1773
-1819 ).
Letusan Tambora juga diabadikan dalam syair kerajaan Bima yang ditulis
oleh seorang Khatib yang bernama Lukman yang masih merupakan kerabat Sultan
Bima. Syair Kerajaan Bima mengisahkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kesultanan Bima pada kurun 1815-1829. Ada
empat kejadian yang diceritakan dalam syair tersebut: wafatnya sultan,
diangkatnya penggantinya, serangan perompak dan meletusnya Gunung Tambora.
Syair itu terdiri dari empat bagian dan 487 baris. Baris 1-10 berisi Petuah dan
perkenalan pengarang.Baris 11-82 berisi tentang Letusan Gunung Tambora.
Pengarang melukiskan peristiwa
letusan yang berlangsung tiga hari tiga malam dan kelaparan yang terjadi.Baris
83-217 berisi tentang Wafatnya Sultan Abdul Hamid. Pengarang menceritakan masa
sultan gering, wafatnya, dan pemakamannya. Dikisahkan juga upacara sampai seratus
hari sesudahnya.Baris 218-288 berisi tentang Serangan Perompak. Pengarang
menceritakan serbuan perompak. Para bajak laut menghancurkan Sanggar, dan
mengalahkan Orang Melayu dan Bugis di Sape sebelum akhirnya diusir pasukan
Bima. Baris 289-487 berisi tentang
Penobatan Sultan Ismail.
Berikut kutipan baris ke 11 hingga 19 syair khatib Lukman tentang
Letusan Tambora :
Datanglah takdir Wahid al-Kahar,
pada hijrat an-nabi Sayyid al-Basyar, seribu dua ratus tahun tersesar,
dua puluh delapan lebihnya berkisar.
Pada tahun Jim awal mulanya,
diturunkan bala kepada hambanya,
tanah Bima hangus semua padinya,
laparlah orang sekalian isinya.
Lapar itu terlalu sangat, rupanya
negeri tiada bersemangat,
serasa dunia bekas kiamat,
sukarlah gerangan baiknya bangat.
Tentang waktu letusan itu terjadi, antara catatan BO dengan syair khatib
Lukman memiliki kesamaan. Duka dan lara dilukiskan Khatib Lukman sebagai
berikut :
Waktu subuh fajarpun merekah,
diturunkan Allah bala celaka, sekalian orang habislah duka,
bertangis-tagisan segala mereka.
Lukisan kejadian cukup rinci diuraikan oleh Khatib Lukman. Suara
letusan, suasana gelap seperti waktu malam. Pasir yang turun deras serta
Tsunami yang terjadi dan perahu-perahu yang terlempar ke daratan.
Adalah pada waktu tengah malam,
meletuplah bunyi seperti meriam, habislah terkejut sekalian alam,
serasa dunia bagaikan karam.
Ayam berkokok haripun siang, undurlah orang daripada sembahyang,
turunlah pasir bagai dikarang, habislah terkejut sekalian orang.
Pasir disangka hujan yang titik,
jatuh di atap bunyinya mengeritik,
hari yang terang kelam berbalik,
Air yang hilir berbalik mudik
Tiadalah beberapa lamanya selang,
turunlah abu bagai dituang,
geger gempar sekalian orang,
terkejut melihat sekalian tercengang.
Abu yang turun sebagai ribut,
rupanya alam kelam kabut,
datanglah banjir mudik dari laut,
terdampar ke laut perahu hanyut.
Pada baris lainnya, Khatib Lukman menulis sebagai berikut :
Tanah Tambora yang kena durhaka,
Bima dan Sumbawa dipindahkan
belaka,
sekalian orang telah celaka,
sampai sekarang menanggung duka.
(Bersambung)
Tidak ada komentar
Posting Komentar