Penulis : Zainul Rahman (Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang Asal kota Bima)
Demokrasi, tidak dengan sendirinya melahirkan kata “Demokratis”. Artinya bahwa
harus ada perjuangan ekstra dalam menjalankan demokrasi, sehingga ketika
demokrasi dijalankan dengan baik dan bijak, maka akan dengan sendirnya
menghadirkan demokratis. Indonesia hari ini, adalah Indonesia dengan sistem
demokrasi yang darurat oposisi. Hal itu dapat dibuktikan pasca Pilpres pada
bulan April 2019 lalu ketika pemenang pentas demokrasi, yakni koalisi Indonesia
Maju yang mengusung Jokowi-Ma’ruf berkonsolidasi dengan lawannya yang pada
awalnya di kubu oposisi. Bagaimana tidak, Prabowo Subianto yang sebelumnya
menjadi tombak utama oposisi pada Pilpres 2019 lalu, dan juga Wakil Ketua Umum
Gerindra Edhy Prabowo pada akhirnya memilih untuk bergabung dalam Kabinet
Indonesia Maju sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Masuknya beberapa
partai yang pada awalnya berada pada posisi oposisi menimbulkan kekhawatiran
lebih dalam keberlangsungan demokrasi. Demokrasi pada dasarnya akan sulit
mencapai kata sempurna, oleh sebab itulah maka kehadiran oposisi adalah hal
yang fundamen dalam negara demokrasi. Di sisi lain, demokrasi yang sehat mesti
dibarengi oleh oposisi yang kuat. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana
oposisi hendak kuat dan memberikan check and balance pada pemerintah jika
pasukan yang awalnya berada di posisi oposisi ikut masuk dalam koalisi dengan
dalil rekonsiliasi?. Tujuan oposisi adalah untuk menjadi stabilitator di tengah
kebijakan atau program yang dibuat oleh pemerintah. Oposisi menjadi penting
karena akan menekan pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang
sewenang-wenang kepada masyarakat hanya demi kepentingan elit atau golongannya
saja.
Sedikit mengulas
kembali pasca Pilpres 2019 lalu, dimana pemilih mendapatkan buy one get one
yang artinya bahwa para pemilih yang memilih Jokowi juga mendapatkan Prabowo
sebagai bonusnya di posisi menteri. Banyak pihak yang kecewa terhadap arah
keputusan tersebut, namun sedikit banyak pula yang pro terhadapnya. Tetapi, hal
terpenting dari sikap politik tersebut adalah akan berimbas pada demokrasi kita
yang kekurangan oposisinya. Biasanya di Indonesia, mereka yang kalah dalam
pentas demokrasi, akan secara otomatis menjankan takdirnya pada posisi oposisi.
Namun hal tersebut dalam realitasnya sekarang menjadi berbeda sebab dalil
rekonsiliasi yang berimbas pada pembagian jatah kursi.
Merujuk kembali
pada minimnya oposisi dalam demokrasi, dikhawatirkan pada suatu ketika
pemerintah sedang mengalami stagnasi dalam menformulasikan suatu kebijakan, juga
minimnya kritikan dan masukan dari oposisi, maka akan menurunkan kualitas
demokrasi itu sendiri. Karena dalam Ilmu Politik, check and balance adalah
inti dari demokrasi. Di sisi lain, kekhawatiran juga hadirsebab legislatif
pada 2019 lalu yang dimenangkan oleh PDIP (19,33 persen suara) dan di
posisi runner up Partai Gerindra (12,5 persen suara) berkoalisi. Artinya bahwa
posisi legislatif dan eksekutif kita dikuasai oleh partai politik yang
sama. Maka dengan begitu, fungsi check and balance dalam demokrasi tadi
disinyalkan akan berkurang melalui pertanda buruk tersebut.
Pada intinya,
minimnya kehadiran oposisi pada demokrasi kita sekarang adalah ancaman yang
nyata bagi demokrasi kita. Di sisi lain, akhir-akhir ini mungkin ada sebagian
dari kita yang merindukan suara-suara kritis dari beberapa sosok yang selama
ini sering mengkritisi pemerintah. Sebut saja Fahri Hamzah, Fadli Zon hingga
sosok fenomenal Rocky Gerung kini tidak sebegitu aktif dulu muncul di layar
televisi sebagai pengkritik pemerintah. Oleh sebab itu pula, maka penulis
hendak mengajak para pembaca dan juga para LSM, Ormas, Organisasi Mahasiswa,
hingga masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menyehatkan demokrasi Indonesia.
Dalam minimnya oposisi di demokrasi kita sekarang, kita mesti menjadi tameng
terakhir dalam mengawasi kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah.
Dapat menjadi oposisi terakhir yang mengawal keberlangsungan demokrasi kita.
Dengan demikian, kita secara kolektif kolegial berjuang bersama dalam demokrasi
untuk menghadirkan yang namanya “Demokratis”. (*)
Tidak ada komentar
Posting Komentar