Menafsir Demokrasi yang Minim Oposisi - Media Tabaca
BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

header-ad

Menafsir Demokrasi yang Minim Oposisi


Penulis : Zainul Rahman (Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang Asal kota Bima)


Demokrasi, tidak dengan sendirinya melahirkan kata “Demokratis”. Artinya bahwa harus ada perjuangan ekstra dalam menjalankan demokrasi, sehingga ketika demokrasi dijalankan dengan baik dan bijak, maka akan dengan sendirnya menghadirkan demokratis. Indonesia hari ini, adalah Indonesia dengan sistem demokrasi yang darurat oposisi. Hal itu dapat dibuktikan pasca Pilpres pada bulan April 2019 lalu ketika pemenang pentas demokrasi, yakni koalisi Indonesia Maju yang mengusung Jokowi-Ma’ruf berkonsolidasi dengan lawannya yang pada awalnya di kubu oposisi. Bagaimana tidak, Prabowo Subianto yang sebelumnya menjadi tombak utama oposisi pada Pilpres 2019 lalu, dan juga Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo pada akhirnya memilih untuk bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Masuknya beberapa partai yang pada awalnya berada pada posisi oposisi menimbulkan kekhawatiran lebih dalam keberlangsungan demokrasi. Demokrasi pada dasarnya akan sulit mencapai kata sempurna, oleh sebab itulah maka kehadiran oposisi adalah hal yang fundamen dalam negara demokrasi. Di sisi lain, demokrasi yang sehat mesti dibarengi oleh oposisi yang kuat. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana oposisi hendak kuat dan memberikan check and balance pada pemerintah jika pasukan yang awalnya berada di posisi oposisi ikut masuk dalam koalisi dengan dalil rekonsiliasi?. Tujuan oposisi adalah untuk menjadi stabilitator di tengah kebijakan atau program yang dibuat oleh pemerintah. Oposisi menjadi penting karena akan menekan pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang sewenang-wenang kepada masyarakat hanya demi kepentingan elit atau golongannya saja.

Sedikit mengulas kembali pasca Pilpres 2019 lalu, dimana pemilih mendapatkan buy one get one yang artinya bahwa para pemilih yang memilih Jokowi juga mendapatkan Prabowo sebagai bonusnya di posisi menteri. Banyak pihak yang kecewa terhadap arah keputusan tersebut, namun sedikit banyak pula yang pro terhadapnya. Tetapi, hal terpenting dari sikap politik tersebut adalah akan berimbas pada demokrasi kita yang kekurangan oposisinya. Biasanya di Indonesia, mereka yang kalah dalam pentas demokrasi, akan secara otomatis menjankan takdirnya pada posisi oposisi. Namun hal tersebut dalam realitasnya sekarang menjadi berbeda sebab dalil rekonsiliasi yang berimbas pada pembagian jatah kursi.

Merujuk kembali pada minimnya oposisi dalam demokrasi, dikhawatirkan pada suatu ketika pemerintah sedang mengalami stagnasi dalam menformulasikan suatu kebijakan, juga minimnya kritikan dan masukan dari oposisi, maka akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri. Karena dalam Ilmu Politik, check and balance adalah inti dari demokrasi. Di sisi lain, kekhawatiran juga hadirsebab legislatif pada 2019 lalu yang dimenangkan oleh  PDIP (19,33 persen suara) dan di posisi runner up Partai Gerindra (12,5 persen suara) berkoalisi. Artinya bahwa posisi legislatif dan eksekutif kita dikuasai oleh partai politik yang sama. Maka dengan begitu, fungsi check and balance dalam demokrasi tadi disinyalkan akan berkurang melalui pertanda buruk tersebut.

Pada intinya, minimnya kehadiran oposisi pada demokrasi kita sekarang adalah ancaman yang nyata bagi demokrasi kita. Di sisi lain, akhir-akhir ini mungkin ada sebagian dari kita yang merindukan suara-suara kritis dari beberapa sosok yang selama ini sering mengkritisi pemerintah. Sebut saja Fahri Hamzah, Fadli Zon hingga sosok fenomenal Rocky Gerung kini tidak sebegitu aktif dulu muncul di layar televisi sebagai pengkritik pemerintah. Oleh sebab itu pula, maka penulis hendak mengajak para pembaca dan juga para LSM, Ormas, Organisasi Mahasiswa, hingga masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menyehatkan demokrasi Indonesia. Dalam minimnya oposisi di demokrasi kita sekarang, kita mesti menjadi tameng terakhir dalam mengawasi kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Dapat menjadi oposisi terakhir yang mengawal keberlangsungan demokrasi kita. Dengan demikian, kita secara kolektif kolegial berjuang bersama dalam demokrasi untuk menghadirkan yang namanya “Demokratis”. (*)
« PREV
NEXT »

Tidak ada komentar